Pembubaran Perseroan Terbatas

Pembubaran Perseroan Terbatas

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin

Pembubaran Perseroan terbagi atas non-judicial dissolution dan judicial dissolution. Non-judicial dissolution adalah pembubaran Perseroan yang tidak dilakukan melalui proses yudisial, contohnya adalah pembubaran perseroan karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir dan pembubaran perseroan keputusan RUPS, konsolidasi dan merger, sedangkan Judicial dissolution merupakan pembubaran perseroan yang dilakukan melalui proses yudicial, contohnya adalah pembubaran perseroan berdasarkan penetapan pengadilan yang permohonannya diajukan oleh Jaksa, pemegang saham, direksi, dan komisaris perseroan.

Dalam rangka pembubaran perseroan tentunya tidak begitu mudah terjadi karena ada beberapa tindakan yang perlu dilakukan untuk melakukan pemberesan atau pengurusan perseroan terkait dengan penyelesaian hak dan kewajibannya selama berjalan. Proses penyelesaian ini dinamakan proses likuidasi. Masa tenggang untuk penyelesaian urusan perseroan dalam rangka pembubaran inilah yang dimaksud dengan masa likuidasi, sepanjang masa likuidasi perseroan yang dibubarkan dapat kehilangan statusnya sebagai badan hukum.

Merujuk pada UUPT, yaitu Pasal 142 ayat 1 UUPT dijelaskan bahwa, pembubaran suatu perseroan itu sendiri dapat terjadi karena:

  1. berdasarkan keputusan RUPS;
  2. karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir;
  3. berdasarkan penetapan pengadilan;
  4. dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit Perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan;
  5. karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam UUK-PKPU; atau
  6. karena dicabutnya izin usaha Perseroan sehingga mewajibkan Perseroan melakukan likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

Pembubaran perseroan berdasarkan keputusan RUPS diajukan oleh Direksi, Dewan Komisaris atau 1 (satu) pemegang saham atau lebih yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara. Keputusan RUPS tentang pembubaran perseroan adalah sah apabila diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat dan/atau paling sedikit dihadiri oleh ¾ (tiga perempat) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan disetujui paling sedikit ¾ (tiga perempat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan.

Pembubaran perseroan juga diatur pada Pasal 142 Ayat (1) adalah berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri (PN). Proses Pembubarannya diatur lebih lanjut pada Pasal 146, seperti yang dijelaskan dibawah ini:[1]

  1. Penetapan pembubaran menjadi kompetensi absolut PN

Yuridiksi memeriksa dan menerbitkan Penetapan pembubaran Perseroan, jatuh menjadi kompetensi absolut Peradilan Umum dalam hal ini PN, bukan kompetensi Pengadilan Niaga. Sedang kompetensi relatifnya jatuh menjadi yuridiksi PN di tempat mana Perseroan berkedudukan.

  1. Yang berhak mengajukan permohonan

Pembubaran Perseroan berdasar Penetapan PN, disebabkan adanya pengajuan permohonan oleh orang atau pihak yang memiliki hak atau kewenangan untuk itu. Berarti supaya permohonan pembubaran Perseroan ke PN memenuhi syarat, harus diajukan oleh orang atau pihak yang memiliki legal standing (ligitima person standi in judicio) untuk itu.

Menurut Pasal 146 ayat (2), dalam Penetapan PN yang mengabulkan permohonan pembubaran perseroan, harus juga menetapkan “penunjukan” likuidator. Penetapan PN yang lalai menetapkan penunjukan likuidator, mengakibatkan penetapan itu tidak dapat dijalankan, karena tidak ada likuidator yang akan bertindak melakukan pemberesan. Untuk mengatasi kasus Penetapan yang lalai menetapkan penunjukan likuidator, dapat ditempuh dua cara:

  1. Menerapkan ketentuan Pasal 142 ayat (3), yakni dengan sendirinya Direksi bertindak selaku likuidator, atau;
  2. Mengajukan permohonan agar Pengadilan Negeri menunjuk likuidator.

Dalam waktu paling lama 30 hari sejak tanggal dibubarkan, likuidator wajib memberitahukan pembubaran kepada kreditur dan menteri. 

Selama pemberitahuan pembubaran perseroan tidak dilakukan sesuai dengan Pasal 147 UU PT, maka pembubaran perseroan tidak berlaku bagi pihak ketiga dan pembubaran perseroan tidak mengakibatkan perseroan kehilangan status badan hukumnya sampai dengan selesainya likuidasi dan pertanggungjawaban likuidator diterima oleh RUPS atau pengadilan.


[1] M.Yahya Harahap, op.cit, hlm. 550-552

Siti Chatrunnada