Force Majeure dan Covid-19

Force Majeure dan Covid-19

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahmud MD, menyebutkan bahwa Putusan Presiden (Keppres) Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Virus Corona (COVID-19) sebagai Bencana Nasional tidak dapat dijadikan dasar sebagai force majeure (detik.com tertanggal 14 April 2020).

Banyak Provinsi di Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam rangka penanganan Covid 19. Salah satu bentuk dari pelaksanaannya yaitu menghentikan sementara aktivitas di tempat kerja/kantor, hal ini sangat mempengaruhi perekonomian Indonesia. Terutama bagi pelaku-pelaku usaha dimana penurunan omset akibat berkurangnya permintaan akan berdampak pada kemampuan membayar kredit kepada kreditur, bahkan bisa mengakibatkan gagal bayar.

Dalam melaksanakan usaha seharusnya para pelaku usaha memahami isi dari setiap perjanjian yang disepakati. Fatal akibatnya jika pelaku usaha hanya membaca sekilas dan tidak mengerti isi perjanjian, walaupun tidak sedikit pelaku usaha meminta bantuan jasa dari seorang pengacara untuk menafsirkan isi perjanjian maupun negosiasi kontrak bahkan menyiapkan kontrak tersebut. Dari sekian banyak klausul yang terdapat dalam perjanjian yang dibutuhkan oleh para pelaku usaha, terdapat satu klausul yang seharusnya selalu ada, yaitu klausul mengenai force majeure.

Klausul mengenai force majeure bertujuan agar para pihak memahami kelalaian yang disebabkan oleh para pihak itu sendiri dan kelalaian yang terjadi karena keadaan memaksa. Namun dalam suatu perjanjian klausul mengenai force majeure tetap saja timbul masalah mengenai sejauh mana dan bagaimana suatu keadaan dapat dikatakan berada dalam suatu keadaan memaksa seperti halnya covid-19 apakah termasuk di dalamnya dan bagaimana hukum perdata memandang force majeure sebagai alasan pemaaf tidak dilaksanankan suatu kontrak.

Force majeure terdapat dalam Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata, namun apabila dikaji lebih lanjut ketentuan tersebut lebih menekankan bagaimana tata cara penggantian biaya, ganti rugi. Pada klausa force majeure memberikan perlindungan terhadap kerugian yang disebabkan oleh kebakaran, banjir, gempa, hujan badai, angin topan, (atau bencana alam lainnya), pemadaman listrik, kerusakan katalisator, sabotase, perang, invasi, perang saudara, pemberontakan, revolusi, kudeta militer, terorisme, nasionalisasi, blokade, embargo, perselisihan perburuhan, mogok, dan sanksi terhadap suatu pemerintahan.

Subekti berpendapat bahwa force majeure atau keadaan memaksa adalah keadaan di luar kekuasaan debitur yang tidak dapat diketahui pada waktu kontrak itu dibuat, ia tidak dapat dikatakan salah atau alpha sehingga orang yang tidak salah tidak boleh dijatuhi sanksi.

Adapun unsur-unsur yang menyatakan bagaimana suatu keadaan dapat dinyatakan sebagai force majeure (vis maior, act of God, etc.) antara lain:

  • peristiwa yang terjadi akibat suatu kejadian alam;
  • peristiwa yang tidak dapat diperkirakan akan terjadi;
  • peristiwa yang menunjukkan ketidakmampuan untuk melaksanakan kewajiban terhadap suatu kontrak baik secara keseluruhan maupun hanya untuk waktu tertentu.

Bahwa syarat-syarat yang dapat dipergunakan oleh debitor untuk membebaskan diri  dari tanggung gugat dengan mendalilkan adanya force majeure, yaitu:

  • debitor harus membuktikan ketiadaan pelaksanaan prestasi disebabkan oleh adanya hambatan diluar kemampuannya, sebelum tenggang waktu pelaksanaan lewat (jatuh tempo);
  • hambatan tersebut tidak dapat diduga secara wajar pada saat penutupan kontrak;
  • untuk hambatan yang bersifat sementara toleransi penundaan pelaksanaan prestasi diberikan dengan mempertimbangkan pengaruhnya terhadap pelaksanaan prestasi;
  • debitor wajib memberitahu kepada kreditor mengenai terjadinya force majeure secara patut, apabila kewajiban pemberitahuan ini tidak dilakukan maka debitor bertanggung gugat atas kerugian yang ditimbulkannya tersebut.

Force majeure ditujukan untuk memberikan perlindungan terhadap salah satu pihak yang dirugikan dalam suatu perjanjian, dengan ketentuan telah terpenuhinya syarat objektif dan/atau syarat subjektif suatu keadaan dapat digolongkan sebagai force majeure

Force majeure merupakan klausa yang lazim dalam suatu perjanjian di Indonesia pengaturan akan klausa ini terdapat dalam KUHPerdata dalam Pasal 1244 dan Pasal 1245, kedudukan force majeure dalam suatu perjanjian berada di dalam perjanjian pokok, tidak terpisah sebagai perjanjian tambahan dan dikaitkan dengan perjanjian pokok selayaknya perjanjian accesoir.

Pihak yang melakukan perjanjian terkadang menghadapi permasalahan didalam pelaksanaannya, bila salah satu pihak kreditur merasa dirugikan dapat melakukan penuntutan kepada pihak debitur yang dianggap wanprestasi yang tidak melakukan pemenuhan yang menjadi kewajibannya baik sengaja ataupun kelalaiannya.

Namun jika debitur menganggap bahwa kelalaiannya bukan karena kesengajaan dan bukan karena itikad buruknya maka dapat dibebaskan dari ganti kerugian yang diatur didalam Pasal 1244 KUH Perdata dan Pasal 1245 KUH Perdata yang mengatur force majeure. Bahwa peristiwa yang tidak terduga yang terjadi diluar kesalahan debitur yang menyebabkan terhalangnya debitur untuk memenuhi prestasinya, sebelum ia dinyatakan lalai dan karena tidak dapat dipersalahkan dan menanggung resiko atas kejadian tersebut. 

Untuk itu cara yang dapat melepaskan atau membebaskan pihak debitur dari gugatan kreditur adalah dalil adanya force majeure, yang memenuhi syarat bahwa memang pemenuhan prestasi terhalang atau tercegah, terhalangnya pemenuhan berada diluar kesalahan debitur, dan peristiwa yang menyebabkan terhalangnya prestasi tersebut bukan merupakan resiko debitur.

Selain itu apabila dalam Perjanjian tidak disebutkan klausul force majeure yang berkaitan dengan pandemi covid 19 maka Pihak yang dirugikan berhak untuk meminta dilakukan renegosiasi kontrak kepada pihak lainnya. Permintaan tersebut harus diajukan segera dengan menunjukkan dasar (hukum) permintaan renegosiasi tersebut. Permintaan untuk dilakukannya renegosiasi tidak dengan sendirinya memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk menghentikan pelaksanaan kontrak. Jika renegosiasi gagal mencapai kesepakatan dalam jangka waktu yang wajar maka para pihak dapat mengajukannya ke pengadilan. Apabila adanya force majeure terbukti di pengadilan maka pengadilan dapat memutuskan untuk mengakhiri kontrak pada tanggal dan waktu yang pasti atau mengubah kontrak dengan mengembalikan keseimbangannya.

Namun demikian, keadaan force majeure umumnya diputuskan oleh Pengadilan melalui gugatan perdata, jika salah satu pihak tidak sepakat tentang keadaan force majeure tersebut. Apabila anda membutuhkan bantuan advokat tentang keadaan force majeure yang anda rasa terjadi pada anda dapat menghubungi kami:

Zeto & Associates Lawyers